Perubahan status koloni kulit putih
Sejak abad ke-18, telah terjadi perbedaan yang nyata antara status koloni Britania yang dihuni oleh penduduk berkulit putih dengan koloni yang dihuni oleh penduduk non-kulit putih. Saat pemikiran "absolutisme tercerahkan" berkembang di Eropa, Britania didesak untuk mengubah status koloni-koloni kulit putih agar mengizinkan mereka membentuk pemerintahan sendiri.[117]
Langkah koloni kulit putih untuk memperoleh kemerdekaan dari Imperium Britania dimulai dengan adanya Laporan Durham pada tahun 1839: dua provinsi di Kanada (Kanada Hulu dan Kanada Hilir) diusulkan untuk diunifikasi sebagai solusi atas kerusuhan politik yang kerap terjadi di sana.[118] Unifikasi ini disahkan dalam Undang-Undang Penyatuan pada tahun 1840, yang kemudian membentuk Provinsi Kanada. Pemerintahan mandiri pertama kali diberikan pada Nova Scotia pada tahun 1848, kemudian menyusul koloni-koloni Britania lainnya di Amerika utara. Selanjutnya, dengan diberlakukannya Undang-Undang Konstitusi oleh Parlemen Britania Raya pada tahun 1867, Kanada Hulu, Kanada Hilir, New Brunswick, dan Nova Scotia disatukan menjadi Dominion Kanada, dengan status sebagai Pemerintahan Konfederasi yang menikmati hak penuh kecuali dalam hal hubungan internasional.[119] Australia dan Selandia Baru juga memperoleh status yang sama setelah tahun 1900. Koloni-koloni di Australia diunifikasi pada tahun 1901 menjadi Federasi Australia, sedangkan Selandia Baru menyusul setelahnya dengan status sebagai Pemerintah Dominion. Istilah Pemerintahan Dominion sendiri secara resmi baru diperkenalkan dalam Konferensi Kolonial 1907 di London untuk menegaskan status Kanada, Australia dan Selandia Baru.[120]
Pada dekade terakhir abad ke-19, Britania dihadapkan pada kampanye politik rakyat Irlandia yang ingin memisahkan diri dari Britania Raya. Irlandia sendiri telah bergabung dengan Inggris (dan bersama Skotlandia kemudian membentuk Britania Raya) sejak tahun 1800, setelah meletusnya Pemberontakan Irlandia pada tahun 1798, yang diikuti dengan bencana kelaparan parah pada periode 1845 sampai 1852. Kemerdekaan Irlandia ini didukung oleh Perdana Menteri Britania Raya, William Ewart Gladstone, yang berharap bahwa Irlandia mungkin bisa mengikuti jejak Kanada sebagai sebuah Pemerintahan Dominion dalam Imperium Britania. Tetapi Rancangan Undang-Undang (RUU) pembebasan Irlandia ditolak oleh Parlemen Britania Raya,[121] meskipun RUU ini menawarkan otonomi yang lebih sedikit bagi Irlandia ketimbang Kanada.[121] Kebanyakan anggota parlemen takut kemerdekaan Irlandia mungkin akan menimbulkan ancaman keamanan bagi Britania atau menandai awal pecahnya Imperium Britania.[122] RUU kemerdekaan kedua juga ditolak dengan alasan yang sama.[122] RUU ketiga berhasil disahkan oleh parlemen, tetapi tidak diproses lebih lanjut karena pecahnya Perang Dunia I.[123] Sementara itu di Afrika, pada tahun 1910, Koloni Cape, Natal, Republik Transvaal dan Negara Bebas Oranye bergabung menjadi Uni Afrika Selatan yang juga diberi status dominion.[124]
Uni personal dan fase republikan
Kematian Elizabeth I pada 1603 mengakhiri pemerintahan Tudor di Inggris. Karena ia tak memiliki anak, ia digantikan oleh penguasa Skotlandia James VI, yang merupakan cicit dari kakak Henry VIII dan sepupu pertama Elizabeth yang dua kali dilengserkan. James VI memerintah di Inggris dengan sebutan James I setelah apa yang dikenal sebagai "Uni Mahkota". Meskipun Inggris dan Skotlandia ada dalam uni personal di bawah satu penguasa – James I menjadi penguasa pertama yang menggelari dirinya sendiri dengan sebutan "Raja Britania Raya" pada 1604[51] – mereka masih menjadi dua kerajaan terpisah. Penerus James I, Charles I, menghadapi konflik-konflik lanjutan dengan Parlemen Inggris terkait masalah kekuasaan kerajaan dan parlementer, khususnya kuasa untuk menerapkan perpajakan. Ia mendapatkan penentangan karena memerintah tanpa Parlemen dari 1629 sampai 1640, menerapkan perpajakan secara sepihak dan mengadopsi kebijakan keagamaan yang kontroversial (beberapa diantaranya menyerang Presbiterian Skotlandia dan Puritan Inggris). Upayanya untuk menegakkan Anglikanisme berujung pada pemberontakan terorganisir di Skotlandia ("Peperangan Uskup-uskup") dan disusul Peperangan Tiga Kerajaan. Pada 1642, konflik antara Raja dan Parlemen Inggris mencapai puncaknya dan Perang Saudara Inggris pun terjadi.[52]
Perang Saudara tersebut berpuncak pada eksekusi raja pada 1649, lengsernya monarki Inggris, dan pendirian Persemakmuran Inggris. Putra Charles I, Charles II, diangkat menjadi Raja Britania Raya di Skotlandia, tetapi ia terpaksa kabur ke luar negeri setelah ia menginvasi Inggris dan kalah pada Pertempuran Worcester. Pada 1653, Oliver Cromwell, pemimpin politik dan militer paling berpengaruh di negara tersebut, merebut kekuasaan dan mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai Lord Protector (secara efektif menjadikannya diktator militer, tetapi menolak gelar raja). Cromwell berkuasa sampai ia meninggal pada 1658, dimana ia digantikan oleh putranya Richard. Lord Protector baru tersebut hanya memiliki sedikit pemahaman dalam pemerintahan; ia kemudian mengundurkan diri.[53] Kurangnya pemimpin yang bersih berujung pada ketegangan sipil dan militer, dan tuntutan populer untuk merestorasi monarki. Pada 1660, monarki direstorasi dan Charles II kembali ke Inggris.[54]
Masa pemerintahan Charles II ditandai dengan berkembangnya partai-partai politik modern pertama di Inggris. Charles tak memiliki anak kandung, dan akan diteruskan oleh saudaranya yang Katolik Roma, James, Adipati York. Upaya parlemen untuk mengeluarkan/mengeksklusi James dari garis suksesi berkembang; "Para Petisioner", yang mendukung eksklusi, menjadi Partai Whig, sementara "Para Penentang", yang menentang eksklusi, menjadi Partai Tory. Undang-Undang Eksklusi gagal; pada beberapa kali, Charles II membubarkan Parlemen karena ia khawatir undang-undang tersebut disahkan. Setelah Parlemen dibubarkan pada 1681, Charles memerintah tanpa Parlemen sampai ia meninggal pada 1685. Saat James menggantikan Charles, ia mengeluarkan kebijakan yang memberikan toleransi keagamaan bagi umat Katolik Roma, meskipun ditentang beberapa kalangan Protestan. Beberapa orang menentang keputusan-keputusan James yang mendirikan sebuah tentara berjumlah besar, melantik orang-orang Katolik Roma pada jabatan-jabatan militer dan politik yang tinggi, dan menahan para rohaniwan Gereja Inggris yang menentang kebijakan-kebijakannya. Akibatnya, sekelompok Protestan yang dikenal sebagai Immortal Seven mengundang putri James II, Mary dan suaminya William III dari Orange untuk melengserkan raja. William merestuinya dan datang ke Inggris pada 5 November 1688 untuk dukungan publik besar. Menghadapi perlawanan dari beberapa pejabat Protestannya, James kabur dari kerajaan tersebut dan William dan Mary (ketimbang putra Katolik James II) dideklarasikan menjadi Penguasa bersama Inggris, Skotlandia dan Irlandia.[55]
Pelengseran James, yang dikenal sebagai Revolusi Glorious, adalah salah satu peristiwa paling penting dalam evolusi panjang kekuasaan parlementer. Undang-Undang Hak Asasi 1689 memberikan supremasi parlementer, dan mendeklarasikan bahwa rakyat Inggris memegang hak-hak tertentu, yang meliputi bebas dari perpajakan yang dicanangkan tanpa persetujuan parlementer. UU Hak Asasi mewajibkan penguasa monarki haruslah orang Protestan, dan menyatakan bahwa, setelah William dan Mary, saudari Mary, Anne akan mewarisi Mahkota. Mary meninggal tanpa meninggalkan anak pada 1694, meninggalkan Wiliiam sebagai penguasa tunggal. Pada 1700, sebuah krisis politik berkembang, karena seluruh anak Anne meninggal, meninggalkannya sebagai satu-satunya orang yang berada dalam garis suksesi. Parlemen khawatir jika James II atau para pendukungnya, yang dikenal sebagai Jacobit, berupaya untuk mengklaim lagi tahta tersebut. Parlemen mengesahkan Undang-Undang Pemukiman 1701, yang menghindarkan James dan para kerabat Katolik-nya dari suksesi dan menjadikan para kerabat Protestan terdekat William, keluarga Sophia, Electress of Hanover, meneruskan garis tahta setelah saudari iparnya Anne.[56] Setelah pengesahan UU tersebut, William III wafat, dan Mahkota jatuh ke tangan Anne.
Persaingan dengan Belanda di Asia
Pada akhir abad ke-16, Inggris dan Belanda mulai menentang monopoli Portugis terhadap perdagangan di Asia dengan bekerjasama membentuk kongsi dagang gabungan antara East India Company (EIC) milik Inggris dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) milik Belanda pada tahun 1602. Tujuan utama dari kongsi-kongsi dagang tersebut adalah untuk menguasai pasar perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan, terutama di kawasan Kepulauan Hindia Timur serta wilayah sentral jaringan perdagangan di Asia; India. Pada akhirnya, Inggris dan Belanda justru saling bersaing memperebutkan supremasi perdagangan di Asia dari Portugis.[42] Meskipun Inggris pada akhirnya bisa mengimbangi posisi Belanda sebagai kekuatan kolonial, dalam waktu singkat sistem keuangan Belanda melesat lebih maju dibandingkan dengan Inggris.[43] Serangkaian peperangan antara Belanda dengan Inggris pada abad ke-17 turut memperpanas persaingan mereka di Asia. Permusuhan antara kedua negara ini baru berhenti setelah meletusnya Revolusi Agung pada tahun 1688, yaitu saat William III dari Oranye naik tahta menjadi raja Inggris dan mengesahkan kesepakatan damai antara Inggris dan Belanda. Kesepakatan itu menyatakan kalau Belanda berhak menguasai perdagangan rempah-rempah di Hindia Timur, sedangkan Inggris mendapatkan industri tekstil di India. Meskipun demikian, industri tekstil perlahan-lahan mulai menyalip perdagangan rempah-rempah Belanda dalam hal keuntungan dan penjualan. Kemudian, pada tahun 1720, kejayaan ekonomi Belanda berhasil disusul oleh Britania.[43]
Amerika, Afrika dan perdagangan budak
Pada awalnya, Karibia merupakan koloni Inggris yang paling penting dan menguntungkan,[23] namun itu sebelum upaya kolonisasi di beberapa wilayah mengalami kegagalan. Kolonisasi di Guyana pada tahun 1604 hanya berlangsung dua tahun, dan gagal mencapai tujuan utamanya untuk menemukan tambang emas.[24] Upaya kolonisasi di St. Lucia (1605) dan Grenada (1609) juga tidak berhasil. Namun, tidak semua upaya gagal, koloni Inggris di St. Kitts (1624), Barbados (1627) dan Nevis (1628) berhasil dibentuk.[25] Inggris mengadopsi sistem kolonisasi negara-negara lain kemudian menerapkannya di wilayah-wilayah koloninya. Sistem yang diadopsi itu antara lain upaya Portugis dalam mengembangkan perkebunan gula di Brasil yang bergantung pada tenaga budak serta kebijakan Belanda dalam penjualan budak dan hasil penjualannya selanjutnya dibelikan gula.[26] Untuk memastikan kalau keuntungan tetap di tangan Inggris, Parlemen Inggris pada tahun 1651 memutuskan hanya kapal-kapal Inggris yang boleh melakukan perdagangan di wilayah-wilayah koloninya dan perdagangan dikuasai oleh EIC. Keputusan ini menyebabkan permusuhan dengan Belanda yang membangun koloni di bagian timur, kebijakan ini pada akhirnya semakin memperkuat posisi Inggris di Amerika meskipun hal ini merugikan Belanda.[27] Pada tahun 1655, Inggris mencaplok Jamaika dari Spanyol dan pada tahun 1666 berhasil menduduki Bahama.[28]
Permukiman permanen pertama para imigran dari Inggris di Amerika didirikan tahun 1607 di Jamestown, Virginia yang dipimpin oleh Kapten John Smith dan dikelola oleh perusahaan Inggris bernama Virginia Company. Bermuda dihuni dan diklaim oleh Inggris setelah adanya kapal dagang yang tenggelam di perairan Bermuda yang menggunakan bendera Inggris pada tahun 1609, kemudian pada tahun 1615, pengelolaan Bermuda diserahkan pada perusahaan Inggris yang baru, Somers Isles Company.[29] Hak Virginia Company dicabut pada tahun 1624 dan pengelolaan Virginia diberikan kepada kerajaan, yang selanjutnya mendirikan Koloni Virginia.[30] Newfoundland Company didirikan pada tahun 1610 dengan tujuan untuk menciptakan sebuah permukiman permanen di Newfoundland, tetapi tidak berhasil.[31] Pada tahun 1620, Inggris membentuk Koloni Plymouth sebagai tempat pembuangan bagi kelompok separatis Protestan di Inggris.[32] Berikutnya, Inggris mulai membangun koloni-koloni berdasarkan penganut agama. Tahun 1634, Maryland didirikan sebagai permukiman bagi orang-orang yang menganut Katolik Roma, Rhode Island (1636) didirikan sebagai koloni yang toleran terhadap semua agama dan Connecticut (1639) bagi para penganut Kongregasional. Sedangkan Carolina didirikan pada tahun 1663. Tahun 1664, Inggris menukar Suriname di Amerika Selatan dengan Fort Amsterdam kepada Belanda. Penukaran ini membuat Inggris menguasai koloni Belanda di Belanda-Baru (sekarang New York).[33] Kemudian, pada tahun 1681, Koloni Pennsylvania didirikan oleh William Penn. Secara umum, koloni-koloni di Amerika kurang sukses secara finansial dibandingkan dengan koloni Inggris di Karibia, tetapi koloni-koloni di Amerika mempunyai iklim yang sama dengan Eropa serta lahan pertanian yang luas dan subur, hal ini membuat para imigran Inggris lebih suka menetap di Amerika dibanding koloni-koloni lainnya.[34]
Pada tahun 1670, Raja Charles II memberikan mandat kepada Hudson's Bay Company untuk memonopoli perdagangan bulu di wilayah bagian utara yang dinamakan Dataran Rupert—hamparan luas wilayah yang nantinya akan membentuk sebagian besar Kanada. Benteng dan pos perdagangan didirikan di sana, tetapi sering diserang oleh Prancis, yang juga melakukan perdagangan bulu di Prancis Baru yang lokasinya berdekatan dengan Dataran Rupert.[35]
Dua tahun kemudian, Royal African Company ditugaskan oleh Raja Charles II untuk memonopoli pemasokan budak dari koloni Inggris di Karibia.[36] Sejak awal, perbudakan sudah menjadi dasar dari Imperium Britania di Hindia Barat. Sampai adanya kebijakan penghapusan perdagangan budak pada tahun 1807, Inggris bertanggung jawab atas perpindahan sekitar 3,5 juta budak Afrika ke Amerika. Sepertiga dari keseluruhan budak tersebut diangkut melintasi Samudera Atlantik.[37] Untuk memfasilitasi perdagangan ini, benteng dan pos-pos pengawasan didirikan di pantai Afrika Barat seperti Pulau James, Accra dan Pulau Bunce. Di Karibia, persentase penduduk keturunan Afrika meningkat dari 25 persen pada tahun 1650 menjadi sekitar 80 persen pada tahun 1780. Sedangkan di Tiga Belas Koloni meningkat dari 10 persen menjadi 40 persen pada periode yang sama (sebagian besar di koloni-koloni selatan).[38] Perdagangan budak telah menghasilkan keuntungan yang besar bagi Inggris dan menjadi andalan perekonomian bagi kota-kota di Inggris seperti Bristol dan Liverpool; yang kemudian membentuk suatu jalur perdagangan segitiga dengan Afrika dan Amerika. Kondisi kapal yang tidak higienis dalam proses pengangkutan budak serta pekerjaan yang keras dan jam kerja yang panjang mengakibatkan tingkat kematian budak sangat tinggi, rata-rata satu dari tujuh budak meninggal selama pengangkutan maupun selama bekerja.[39]
Pada tahun 1695, Parlemen Skotlandia memberikan mandat kepada Company of Scotland untuk mengkolonisasi Tanah Genting Panama. Tetapi proses kolonisasi ini tidak berhasil. Penjelajah Skotlandia dikepung oleh kolonis Spanyol di Granada dan terserang wabah malaria. Akibatnya, koloni ini ditinggalkan dua tahun kemudian. Kegagalan Skotlandia dalam pengkolonisasian Tanah Genting Panama ini (yang dikenal dengan sebutan Bencana Darien) menyebabkan keruntuhan perekonomian Skotlandia sekaligus mengakhiri harapan Skotlandia untuk membentuk imperium seberang lautan sendiri.[40] Peristiwa ini juga memiliki konsekuensi politik yang besar, membuat Pemerintah Inggris dan Pemerintah Skotlandia berunding mengenai penyatuan kedua negara. Hal ini terjadi pada tahun 1707 dengan disahkannya Undang-Undang Penyatuan pembentukan Kerajaan Britania Raya.[41]
Era keemasan Imperium Britania (1815–1914)
Periode antara tahun 1815 sampai 1914 disebut oleh beberapa sejarawan sebagai "era keemasan Imperium Britania",[87][88] ketika lebih dari 10.000.000 mil persegi (26.000.000 km2) luas wilayah dan sekitar 400 juta penduduk menjadi bagian dari Imperium Britania.[89] Kekalahan Napoleon pada tahun 1815 membuat Britania tidak memiliki saingan yang berarti, kecuali Rusia di Asia Tengah.[90] Menjadi yang tak terkalahkan di lautan, Britania kemudian menobatkan dirinya sebagai polisi dunia, yang selanjutnya dikenal sebagai Pax Britannica.[91] Bersamaan dengan hak kontrol tidak resmi yang dimilikinya, posisi Britania yang dominan dalam perdagangan dunia berarti bahwa secara efektif Britania bisa mengendalikan perekonomian dari banyak negara, seperti Tiongkok, Argentina, dan Siam (Thailand). Kondisi ini oleh para sejarawan disebut sebagai "imperium informal".[92][93]
Era keemasan Imperium Britania didukung oleh berbagai penemuan teknologi selama masa Revolusi Industri seperti kapal uap dan telegraf. Berbagai teknologi baru yang diciptakan pada paruh kedua abad ke-19 memungkinkan Britania untuk mengontrol dan mempertahankan kejayaan imperiumnya. Pada tahun 1902, koloni-koloni di Imperium Britania bisa saling terhubung berkat adanya penemuan jaringan kabel telegraf yang bernama "All Red Line".[94]
Peperangan dengan Napoleon
Britania sekali lagi ditantang oleh Prancis di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte. Tetapi tidak seperti perang-perang sebelumnya, perang kali ini lebih merupakan suatu kontes ideologi antar kedua negara.[77] Perang ini tidak hanya mengancam posisi Britania sebagai pemimpin di kancah imperialisme dunia, tetapi Napoleon mengancam akan menyerang Britania sendiri, seperti yang telah dilakukan oleh pasukannya terhadap negara-negara lainnya di Benua Eropa.[78]
Perang Napoleon adalah peperangan pertama yang membuat Britania benar-benar harus menginvestasikan modal dan sumber daya dalam jumlah besar supaya bisa memenangkan peperangan. Pelabuhan Prancis berhasil diblokade oleh Angkatan Laut Britania Raya, yang selanjutnya menjadi penentu kemenangan Britania atas armada Prancis-Spanyol dalam Pertempuran Trafalgar pada tahun 1805. Koloni seberang lautan Britania diserang dan diduduki, termasuk pemberian Belanda, yang dianeksasi oleh Napoleon pada tahun 1810. Prancis akhirnya berhasil dikalahkan oleh koalisi tentara Eropa pada tahun 1814.[79] Setelah kekalahan Napoleon, Britania lagi-lagi memperoleh keuntungan besar dari hasil perjanjian damai: Prancis menyerahkan Kepulauan Ionia, Malta (yang diduduki pada tahun 1797 dan 1798), Mauritius, St. Lucia, dan Tobago. Sedangkan Spanyol menyerahkan Trinidad, Guyana Belanda dan Koloni Cape. Sementara itu, Britania mengembalikan Guadeloupe, Martinique, Guyana Prancis dan Réunion kepada Prancis serta Jawa dan Suriname kepada Belanda.[80]
Melantik Perdana Menteri
Saat dibutuhkan, Penguasa Monarki bertugas untuk melantik seorang Perdana Menteri baru (yang menurut konvensi memilih dan menentukan setiap Menteri Mahkota lainnya, dan bahkan memegang dan mengendalikan pemerintahan). Menurut konvensi konstitusional tak tertulis, Penguasa Berdaulat harus melantik seseorang yang memimpin dukungan Dewan Rakyat, biasanya pemimpin partai atau koalisi yang mendapatkan mayoritas kursi dalam Dewan tersebut. Perdana Menteri mengambil jabatan dengan menghadiri penguasa Monarki secara pribadi, dan setelah mencium tangan, pelantikan tersebut menjadi sah tanpa peresmian atau instrumen lainnya.[8]
Dalam sebuah parlemen gantung dimana tak ada partai atau koalisi yang menjadi mayoritas, penguasa monarki memiliki derajat tinggi dalam memilih orang untuk memimpin sebagian besar dukungan, meskipun biasanya adalah pemimpin partai terbesar.[9][10] Sejak 1945, hanya ada dua parlemen gantung. Yang pertama setelah pemilihan umum Februari 1974 saat Harold Wilson diangkat menjadi Perdana Menteri setelah Edward Heath mundur pasca kegagalannya membentuk koalisi. Meskipun Partai Buruh pimpinan Wilson tidak meraih suara mayoritas, mereka merupakan partai terbesar. Yang kedua setelah pemilihan umum Mei 2010, dimana Partai Konservatif (partai terbesar) dan Partai Liberal Demokrat (partai terbesar ketiga) sepakat untuk membentuk pemerintahan koalisi pertama sejak Perang Dunia II.
Pada 1950, Sekretaris Pribadi Raja Sir Alan Lascelles, menulis menggunakan pseudonim pada surat kabar The Times tentang konvensi konstitusional: menurut Prinsip-Prinsip Lascelles, jika pemerintahan minoritas meminta untuk membubarkan Parlemen untuk seruan sebuah pemilihan awal untuk memperkuat posisinya, penguasa monarki akan menolak, dan akan melakukannya di bawah tiga kondisi. Saat Harold Wilson meminta pembubaran pada akhir 1974, Ratu Elizabeth II meraih permintaannya saat Heath gagal membentuk koalisi. Pemilihan yang dihasilkan membuat Wilson meraih suara mayoritas kecil.[11] Penguasa monarki secara teori dapat melengserkan Perdana Menteri, tetapi belakangan ini, masa jabatan Perdana Menteri baru berakhir saat ia kalah dalam pemilihan, wafat atau mengundurkan diri. Penguasa monarki terakhir yang melengserkan seorang Perdana Menteri adalah William IV, yang melengserkan Lord Melbourne pada 1834.[12] Undang-Undang Parlemen Masa Jabatan Sah 2011 menghapuskan otoritas penguasa monarki untuk membubarkan Parlemen; UU tersebut secara khusus mempertahankan kekuasaan prorogasi penguasa monarki, tetapi, yang merupakan sebauh fitur reguler dari kalender parlementer.
Imperium Britania kedua (1783–1815)
Selama abad pertama pengoperasiannnya, British East India Company (EIC) cuma terfokus pada perdagangan di India, sama sekali tidak terpikir untuk menantang Kesultanan Mughal, yang memberi izin berdagang pada tahun 1617 karena posisi serta kekuasaannya di India lebih kuat dari Inggris.[50] Namun hal ini berubah pada abad ke-18. Ketika Kesultanan Mughal membatasi hak-hak EIC, Britania dengan EIC berjuang menjatuhkan Kesultanan Mughal—yang dibantu oleh Prancis—dalam Perang Carnatic pada periode 1740-an dan 1750-an. Dalam Pertempuran Plassey 1757, Britania yang dipimpin oleh Robert Clive berhasil menaklukkan Mughal beserta sekutu Prancisnya. Kemenangan ini menjadikan Britania sebagai penguasa serta kekuatan militer dan politik terbesar di India.[51] Selama dekade berikutnya, Britania secara bertahap sukses memperluas wilayah teritori yang berada di bawah kekuasaannya di India, baik dengan menguasainya secara langsung ataupun melalui penguasa lokal yang berada di bawah ancaman kekuatan tentara Britania di India.[52] Kemaharajaan Britania (sebutan untuk India Britania) akhirnya tumbuh menjadi harta yang paling berharga bagi Imperium Britania, dijuluki "permata dalam mahkota", mencakup wilayah yang lebih besar dari Kekaisaran Romawi, India menjadi koloni yang paling penting bagi kekuatan Britania, sekaligus membantu mendefinisikan statusnya sebagai imperium terbesar di dunia.[53]
Kekuasaan pemangku raja
Undang-Undang Kekuasaan Pemangku Raja membolehkan kekuasaan para pemangku raja pada saat penguasa monarki masih kecil atau yang tidak mampu melakukan tugasnya secara fisik dan mental. Saat pemangku raja dibutuhkan, orang terkualifikasi berikutnya dalam garis suksesi secara otomatis menjadi pemangku raja, meskipun mereka sendiri juga masih kecil atau tidak mampu melakukan tugasnya. Tujuan-tujuan khusus dibuat oleh Ratu Elizabeth II oleh Undang-Undang Pemangku Raja 1953, yang menyatakan bahwa Adipati Edinburgh (suami Ratu) dapat bertindak sebagai pemangku pada saat-saat yang dibutuhkan.[93]
Saat selama beberapa waktu sedang sakit atau absen dari kerajaan, penguasa berdaulat secara sementara menyerahkan fungsi-fungsinya ke para Konselor Negara, yang terdiri dari pasangan penguasa monarki dan empat anggota dewasa pertama dalam garis suksesi. Para Konselor Negara saat ini adalah: Adipati Edinburgh, Pangeran Wales, Adipati Cambridge, Pangeran Harry dan Adipati York.[94]
Sampai 1760, penguasa memegang seluruh pengeluaran resmi dari pendapatan warisan, yang meliputi profit-profit Lahan Mahkota (portofolio properti kerajaan). Raja George III sepakat untuk menyerahkan pendapatan-pendapatan warisan Mahkota kembali ke Civil List. dan aransemen tersebut berlaku sampai 2012. Sebuah Jasa Properti Tahunan Grant-in-aid dibayar untuk menjaga kediaman-kediaman kerajaan, dan sebuah Jasa Perjalanan Kerajaan tahunan Grant-in-Aid dibayar untuk perjalanan. Civil List menutupi sebagian besar pengeluaran, yang meliputi para petugas, kunjungan negara, pertunangan publik, dan hiburan resmi. Ukurannya ditentukan oleh Parlemen setiap 10 tahun; dana apapun diamankan sampai masa 10 tahun berikutnya.[95] Dari 2012 sampai 2020, Civil List dan Grants-in-Aid digantikan dengan Sovereign Grant tunggal, yang meliputi 15% pendapatan yang dipegang oleh Lahan Mahkota.[96]
Lahan Mahkota adalah salah satu kepemilihan properti terbesar di Britania Raya, yang seharga £7.3 miliar pada 2011.[97] Lahan tersebut dipercayakan, dan tak dapat dijual atau dimiliki oleh Penguasa Berdaulat dalam kapasitas pribadi.[98] Pada masa modern, profit-profit yang diserahkan dari Lahan Mahkota ke Perbendaharaan dimasukkan ke Civil List dan Grants-in-Aid.[95] Contohnya, Lahan Mahkota menghasilkan £200 juta pada tahun finansial 2007–8, sementara dana parlementer untuk penguasa monarki dilaporkan sejumlah £40 juta pada masa yang sama.[99]
Seperti halnya Lahan Mahkota, lahan dan aset Kadipaten Lancaster, portofolio properti-nya senilai £383 juta pada 2011,[100] dan dipercayakan. Pendapatan Kadipaten masuk Privy Purse, dan digunakan untuk dihabiskan dan tidak melalui tunjangan parlementer.[101] Kadipaten Cornwall merupakan sebuah lahan serupa yang dipercayakan untuk digunakan oleh putra sulung penguasa monarki. Royal Collection, yang meliputi karya-karya seni dan Perhiasan Mahkota, tidak dimiliki oleh Penguasa Berdaulat secara pribadi namun dipercayakan,[102] seperti halnya istana-istana yang diduduki di Britania Raya seperti Istana Buckingham dan Kastel Windsor.[103]
Penguasa berdaulat merupakan subyek dari pajak-pajak tak langsung seperti pajak nilai tambah, dan sejak 1993, Ratu telah membayar pajak pemasukan dan pajak pemberian utama pada pemasukan pribadi. Tunjangan Parlementer kepada Penguasa Berdaulat bukan sebagai pemasukan karena mereka secara tunggal merupakan untuk ekspeditur resmi.[104] Kaum Republikan memperkirakan bahwa biaya monarki sebenarnya, termasuk keamanan dan pemasukan potensial yang tidak diklaim oleh negara, seperti profit-profit dari kadipaten-kadipaten Lancaster dan Cornwall dan penyewaan Istana Buckingham dan Istana Windsor, sejumlah £334 juta setahun.[105]
Prakiraan kekayaan Penguasa Monarki beragam, tergantung pada apakah aset-aset yang ia miliki secara pribadi atau dipercayakan untuk negara dimasukkan. Majalah Forbes memperkirakan bahwa kekayaannya sejumlah US$450 juta pada 2010,[106] namun tak ada jumlah resmi yang diberikan. Pada 1993, Lord Chamberlain berkata bahwa sekitar £100 juta adalah "jumlah pendapatan bersih yang terlalu dilebih-lebihkan".[107] Jock Colville, yang merupakan mantan sekretaris pribadinya dan direktur banknya, Coutts, memperkirakan kekayaannya pada 1971 sejumlah £2 juta[108][109] (setara sekitar £28 juta pada masa sekarang[110]).
Kediaman resmi Penguasa Berdaulat di London adalah Istana Buckingham. Itu adalah tempat sebagian besar banquet negara, penobatan, pembaptisan anggota kerajaan dan upacara-upacara lainnya.[111] Kediaman resmi lainnya adalah Kastel Windsor, istana terbesar yang masih diduduki di dunia,[112] yang biasanya dipakai pada akhir pekan, Paskah dan saat Royal Ascot, sebuah pertemuan ras tahunan yang merupakan bagian dari kalender sosial.[112] Kediaman resmi Penguasa Berdaulat di Skotlandia adalah Istana Holyroodhouse di Edinburgh. Penguasa monarki singgah di Holyrood selama sekitar seminggu pada setiap tahun, dan saat mengunjungi Skotlandia berkenaan dengan kunjungan negara.[113]
Dulunya, Istana Westminster dan Menara London adalah kediaman utama Penguasa Monarki Inggris sampai Henry VIII mengakuisisi Istana Whitehall. Whitehall hangus terbakar pada 1698, sehingga dialihkan ke Istana St James. Meskipun digantikan sebagai kediaman London utama penguasa monarki oleh Istana Buckingham pada 1837, St James masih menjadi istana senior[114] dan masih menjadi kediaman Kerajaan seremonial. Contohnya, para duta besar asing diakreditasikan ke Court of St James's,[111][115] dan Istana-nya adalah tempat pertemuan Dewan Aksesi.[86] Itu juga digunakan oleh para anggota Keluarga Kerajaan lainnya.[114]
Kediaman lainnya meliputi Clarence House dan Istana Kensington. Istana-istana tersebut dimasukkan ke Mahkota; mereka dipercayakan bagi para penguasa masa mendatang, dan tak dapat dijual oleh penguasa monarki.[116] Sandringham House di Norfolk dan Istana Balmoral di Aberdeenshire secara pribadi dimiliki poleh Penguasa Monarki.[103]
Gelar lengkap Penguasa Berdaulat saat ini adalah "Elizabeth the Second, by the Grace of God, of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and of Her other Realms and Territories Queen, Head of the Commonwealth, Defender of the Faith" (bahasa Indonesia: Elizabeth Kedua, atas Rahmat Tuhan, dari Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara dan Kerajaan-kerajaan dan Kawasan-kawasan Ratu Lainnya, Kepala Persemakmuran, Pembela Iman).[117] Gelar "Kepala Persemakmuran" dipegang oleh Ratu secara pribadi, dan tidak dalam Mahkota Inggris.[72] Paus Leo X yang mula-mula memberikan gelar "Pembela Iman" kepada Raja Henry VIII pada 1521, yang dianugerahkan atas dukungannya terhadap Kepausan saat masa-masa awal Reformasi Protestan, terutama atas bukunya Pembelaan Tujuh Sakramen.[118] Setelah Henry berpisah dari Gereja Roma, Paus Paulus III menarik pemberian tersebut, tetapi Parlemen mengesahkan hukum yang melanjutkan penggunaannya.[119]
Penguasa Berdaulat dikenal sebagai "His Majesty" atau "Her Majesty" (bahasa Indonesia: Yang Mulia). Bentuk "Britannic Majesty" (bahasa Indonesia: Yang Mulia Inggris) muncul dalam traktat-traktat internasional dan paspor-paspor untuk membedakan penguasa monarki Inggris dengan para penguasa asing. Penguasa monarki memilih nama regnal-nya, yang tidak harus nama pertamanya – Raja George VI, Raja Edward VII dan Ratu Victoria tak memakai nama pertama mereka.
Jika hanya satu penguasa monarki yang menggunakan nama partikular, tidak ada ordinal yang digunakan; contohnya, Ratu Victoria tidak dikenal sebagai "Victoria I", dan ordinal tidak digunakan bagi para penguasa monarki Inggris yang memerintah sebelum Norman menaklukan Inggris. Pertanyaan apakah penomoran bagi para penguasa monarki Inggris berdasarkan pada para penguasa Inggris atau Skotlandia mencuat pada 1953 saat para nasionalis Skotlandia menentang Ratu menggunakan sebutan "Elizabeth II", atas dasar bahwa tak pernah ada "Elizabeth I" di Skotlandia. Dalam MacCormick v Lord Advocate, sebuah Pengadilan Sesi Skotlandia melawan para penggugat, menyatakan bahwa gelar Ratu adalah sebuah materi hak istimewa dan pilihannya sendiri. Sekretaris Dalam Negeri berkata kepada Dewan Rakyat bahwa para penguasa monarki semenjak Acts of Union telah konsisten menggunakan ordinal Inggris dan Skotlandia, dimana ordinal Inggris terjadi empat kali.[120] Perdana Menteri mengkonfirmasikan praktek tersebut, tetapi menyatakan bahwa "baik Ratu maupun para penasihatnya dapat menentukan para penerusnya".[121] Para penguasa masa mendatang akan menerapkan kebijakan tersebut.[122]
Biasanya, tanda tangan penguasa monarki meliputi nama regnal mereka namun tidak dengan ordinal, yang disusul oleh huruf R, yang merupakan kependekan dari rex atau regina (kata Latin masing-masing untuk raja dan ratu). Tanda tangan penguasa monarki saat ini adalah "Elizabeth R". Dari 1877 sampai 1948, para penguasa monarki yang memerintah menambahkan huruf I pada tanda tangan mereka, yang merupakan kependekan dari imperator atau imperatrix (kaisar atau Kaisar Wanita dalam bahasa Latin), dari status mereka sebagai Kaisar atau Kaisar Wanita India. Contohnya, Ratu Victoria bertandatangan "Victoria RI" dari 1877.
Lambang kerajaan Britania Raya adalah "Quarterly, I and IV Gules three lions passant guardant in pale Or [untuk Inggris]; II Or a lion rampant within a double tressure flory-counter-flory Gules [untuk Skotlandia]; III Azure a harp Or stringed Argent [untuk Irlandia]". Pendukungnya adalah Singa dan Unicorn; slogannya adalah "Dieu et mon droit" (Prancis: "Tuhan dan Hakku"). Sekitaran lambang tersebut merupakan sebuah perwakilan dari Garter yang mencantumkan slogan ordo Kekesatriaan dengan nama yang sama; "Honi soit qui mal y pense". (Bahasa Prancis Lama: "Malulah siapa yang berpikir jahat kepadanya"). Di Skotlandia, penguasa monarki menggunakan bentuk lambang alternatif dimana seperempat bagian kiri atas dan kanan bawah mewakili Skotlandia, bagian kanan atas mewakili Inggris, dan bagian kiri bawah mewakili Irlandia. Slogannya adalah "In Defens"/"Dalam Pertahanan" (sebuah bentuk singkatan dari bahasa Skotlandia "In My Defens God Me Defend"/"Dalam Pertahananku Tuhan Membelaku") dan slogan Order of the Thistle; "Nemo me impune lacessit". (Latin: "Tidak ada yang memprovokasi saya dengan impunitas"); para pendukungnya adalah unicorn dan singa, yang mendukung escutcheon dan lance, yang mengibarkan bendera Skotlandia dan bendera Inggris.
Bendera resmi penguasa monarki di Britania Raya adalah Royal Standard/Standar Kerajaan, yang menggambarkan Lambang Kerajaan dalam bentuk spanduk. Bendera tersebut hanya dikibarkan di gedung-gedung, kapal-kapal dan kendaraan-kendaraan yang dimasukki Penguasa Berdaulat.[123] Standar Kerajaan tak pernah dikibarkan setengah tiang karena selalu ada penguasa berdaulat; saat seorang penguasa wafat, penerusnya otomatis menjadi penguasa berdaulat.[124]
Saat penguasa monarki tidak sedang tidak ada di kediamannya, Bendera Uni dikibarkan di Istana Buckingham, Kastel Windsor dan Sandringham House, sementara di Skotlandia, Standar Kerajaan Skotlandia dikibarkan di Istana Holyrood dan Istana Balmoral.[123]
Imperium Britania Raya (bahasa Inggris: British Empire) adalah suatu imperium kekuasaan yang terdiri dari wilayah-wilayah koloni, protektorat, mandat, dominion dan wilayah lain yang pernah diperintah atau dikuasai oleh Britania Raya. Imperium Britania Raya dimulai pada akhir abad ke-16 sejalan dengan berkembangnya kekuatan Angkatan Laut Britania Raya dan merupakan imperium yang paling luas dalam sejarah dunia serta pada suatu periode tertentu pernah menjadi kekuatan utama di dunia.[1] Pada tahun 1922, Imperium Britania Raya mencakup populasi sekitar 458 juta orang, kurang lebih seperlima populasi dunia pada waktu itu,[2] yang membentang seluas lebih dari 33.700.000 km2 (13.012.000 sq mi), atau sekitar seperempat luas total bumi.[3][4]
Akibatnya, pengaruh Britania Raya, terutama Inggris, melekat kuat di seantero dunia: dalam praktik ekonomi, hukum dan sistem pemerintahan, masyarakat, olahraga (seperti kriket dan sepak bola), serta penggunaan bahasa Inggris. Imperium Britania Raya pada suatu masa pernah dijuluki sebagai "kerajaan tempat Matahari tak pernah tenggelam" karena wilayahnya membentang sepanjang bola dunia dan dengan demikian Matahari selalu bersinar, paling tidak di salah satu dari begitu banyak koloninya.
Selama Zaman Penjelajahan pada abad ke-15 dan ke-16, Portugal dan Spanyol mempelopori penjelajahan maritim Eropa ke berbagai belahan dunia sekaligus mendirikan wilayah koloni. Iri melihat keberhasilan dan kejayaan yang mereka peroleh, Inggris, Prancis dan Belanda mulai membentuk koloni dan jaringan perdagangan mereka sendiri di Amerika dan Asia.[5] Serangkaian kemenangan dalam peperangan pada abad ke-17 dan 18 dengan Prancis dan Belanda membuat Inggris (kemudian bernama Britania Raya setelah bersatu dengan Skotlandia pada tahun 1707) memperoleh wilayah-wilayah koloni yang dominan di India dan Amerika Utara. Lepasnya Tiga Belas Koloni Britania Raya di Amerika Utara pada tahun 1787 setelah perang kemerdekaan membuat Britania Raya kehilangan wilayah koloninya yang paling tua dan paling padat penduduknya.
Lepasnya Amerika Utara membuat perhatian Britania Raya beralih ke wilayah-wilayah koloni di Afrika, Asia dan Samudra Pasifik. Setelah kekalahan Napoleon dari Prancis pada tahun 1815, Britania Raya berkesempatan untuk memperluas imperiumnya ke seantero dunia dan menjadi negara imperialis paling berjaya dan tak tertandingi pada waktu itu. Beberapa wilayah koloninya dijadikan sebagai koloni imigran kulit putih dan beberapa di antaranya dijadikan sebagai wilayah dominion.
Kebangkitan Jerman dan Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 turut menyebabkan pudarnya kejayaan Britania Raya. Ketegangan militer dan ekonomi antara Britania Raya dan Jerman adalah penyebab utama Perang Dunia I, ketika Britania Raya sangat bergantung pada imperiumnya.
Perang tersebut telah menyebabkan hancurnya sistem keuangan Britania Raya dan walaupun Britania Raya masih merupakan negara dengan wilayah jajahan terluas setelah Perang Dunia I, Britania Raya tidak lagi menjadi pemimpin perekonomian dan militer di dunia. Perang Dunia II menyebabkan sebagian besar koloni Britania Raya di Asia Tenggara diduduki oleh Jepang. Meskipun pada akhirnya Britania Raya dan Sekutu berhasil memenangkan Perang Dunia II, perang ini turut berdampak pada semakin sempitnya wilayah Imperium Britania Raya. Dua tahun setelah perang berakhir, India—koloni Britania Raya yang paling berharga—memperoleh kemerdekaannya.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, sebagai akibat dari gerakan dekolonisasi negara-negara terjajah, Britania Raya memberi kemerdekaan pada sebagian besar koloninya. Proses dekolonisasi ini berakhir dengan diserahkannya Hong Kong ke tangan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1997. Empat belas koloni Britania Raya yang masih tersisa (disebut dengan Wilayah Seberang Laut Britania Raya) tetap berada di bawah kedaulatan Britania Raya. Setelah kemerdekaan, banyak bekas koloni Britania Raya yang bergabung dengan Persemakmuran Bangsa-Bangsa, yaitu suatu persatuan secara sukarela yang melibatkan negara-negara berdaulat yang didirikan atau pernah dijajah oleh Britania Raya.
Enam belas anggota Persemakmuran mengakui Raja Charles III sebagai Ketua Persemakmuran sekaligus kepala negara.
Ide mengenai penjelajahan seberang lautan (dalam pengertian eksplorasi lautan di luar Eropa dan Kepulauan Britania Raya) sudah dicetuskan saat Inggris dan Skotlandia masih berada dalam pemerintahan yang terpisah. Pada tahun 1496, Henry VII dari Inggris ingin mengikuti keberhasilan Spanyol dan Portugal dalam menjelajahi seberang lautan. Ia kemudian menugaskan John Cabot memimpin pelayaran untuk menemukan rute menuju Asia melalui Samudra Atlantik Utara.[6] Cabot mulai berlayar pada tahun 1497; lima tahun setelah benua Amerika ditemukan oleh Christopher Columbus. Meskipun pada akhirnya ia berhasil berlabuh di pantai Newfoundland, ia mengira kalau ia sudah mencapai Asia dan pada akhirnya tidak berhasil mendirikan koloni.[7] Cabot memimpin pelayaran lain ke Amerika pada tahun berikutnya namun tidak diketahui lagi kabarnya.[8]
Tidak ada upaya lebih lanjut untuk mendirikan koloni Inggris di Amerika hingga memasuki masa pemerintahan Elizabeth I pada dekade terakhir abad ke-16.[9] Adanya gerakan Reformasi Protestan telah membuat Inggris bermusuhan dengan Katolik Spanyol.[6] Pada tahun 1562, Kerajaan Inggris memerintahkan navigator John Hawkins dan Francis Drake untuk menyerang kapal-kapal Spanyol dan Portugal yang melintas di lepas pantai Afrika Barat dengan tujuan untuk melumpuhkan sistem perdagangan di Atlantik.[10] Upaya ini tidak berhasil dan kemudian, saat Perang Inggris-Spanyol terjadi, Elizabeth I memerintahkan penyerangan terhadap pelabuhan Spanyol di Amerika dan kapal-kapal Spanyol yang melintasi Atlantik serta membajak kapal-kapal Spanyol yang sarat dengan harta dari Dunia Baru.[11] Pada saat yang sama, penulis yang berpengaruh seperti Richard Hakluyt dan John Dee (yang pertama kali menggunakan istilah Imperium Britania Raya) mulai menekan kerajaan agar segera memulai penjelajahan seberang lautan.[12] Pada saat itu, Spanyol telah menguasai Amerika, Portugal telah mendirikan pos perdagangan dan benteng di pantai Afrika, Brasil dan Tiongkok, sedangkan Prancis sudah mencapai Sungai Saint Lawrence dan kemudian mendirikan koloni Prancis Baru.[13]
Meskipun Inggris jauh tertinggal di belakang negara-negara Eropa lainnya dalam membangun koloni seberang lautan, Inggris telah berhasil menguasai Irlandia pada abad ke-16.[14][15] Beberapa orang yang berperan dalam kolonisasi Irlandia ini selanjutnya juga berperan dalam proses kolonisasi awal di Amerika Utara, kelompok ini selanjutnya dikenal sebagai "para lelaki dari barat".[16]
Imperium Britania pertama (1583–1783)
Pada tahun 1578, Ratu Elizabeth I memerintahkan Humphrey Gilbert untuk memulai penjelajahan seberang lautan.[17] Gilbert kemudian berlayar menuju Hindia Barat dengan tujuan untuk membajak kapal-kapal Spanyol dan memulai kolonisasi di Amerika Utara. Namun, ekspedisi ini dihentikan sebelum mencapai Samudera Atlantik.[18][19] Pada tahun 1583, Gilbert melakukan pelayaran kedua. Dalam pelayaran itu, ia berhasil mencapai Newfoundland dan mengklaim wilayah itu sebagai koloni Inggris pertama, meskipun pada saat itu pulau tersebut tidak berpenghuni. Gilbert tidak berhasil kembali ke Inggris, kemudian ia digantikan oleh saudara tirinya, Walter Raleigh, yang diberi mandat oleh Ratu Elizabeth I pada tahun 1584. Raleigh berhasil membangun koloni di Roanoke (sekarang North Carolina), tetapi kurangnya persediaan makanan menyebabkan upaya untuk membangun koloni lebih lanjut gagal dilakukan.[20]
Tahun 1603, Raja James VI dari Skotlandia naik takhta menjadi raja Inggris dan mengesahkan Traktat London 1604 yang mengakhiri permusuhan dengan Spanyol. Setelah berdamai dengan saingan utamanya, upaya Inggris terfokus untuk mengambil alih wilayah-wilayah koloni negara lain dan membangun koloni seberang lautan sendiri.[21] Imperium Britania mulai terbentuk pada awal abad ke-17, yang mencakup wilayah-wilayah di Amerika Utara dan pulau-pulau kecil di Karibia serta membentuk kongsi dagang bernama East India Company (EIC) untuk mengelola dan mengendalikan perdagangan di wilayah koloni Britania. Periode ini hingga terjadinya Perang Kemerdekaan Amerika Serikat yang menyebabkan lepasnya Tiga Belas Koloni Britania di akhir abad ke-18 disebut sebagai "Imperium Britania pertama".[22]